Seminar Nasional Bahas Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta dan Deep Learning di Madrasah
Purworejo, 7 November 2025 – Upaya memperkuat pendidikan madrasah yang humanis, bermakna, dan berkesadaran terus dilakukan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Salah satu bentuk nyata komitmen tersebut diwujudkan melalui Seminar Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) dan Deep Learning di Madrasah, yang digelar di Hotel Plaza Purworejo, Jumat (7/11/2025).
Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama antara Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, dengan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Seminar tersebut menghadirkan dua narasumber utama, yakni Dr. Fitri Yuliawati, S.Pd.Si., M.Pd.Si., dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan H. Wibowo Prasetyo, anggota DPR RI Komisi VIII.
Dalam paparannya, Dr. Fitri Yuliawati menguraikan secara mendalam konsep Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang menjadi inti dari pendekatan baru pendidikan madrasah. Ia menjelaskan bahwa kurikulum ini menitikberatkan pada pengembangan karakter, pembelajaran berbasis pengalaman, serta perhatian mendalam terhadap aspek sosial dan emosional peserta didik.
“Kurikulum berbasis cinta melahirkan insan yang humanis, toleran, dan menjadikan cinta sebagai prinsip dasar kehidupan,” ujar Fitri. “Cinta kepada Allah, kepada Rasulullah, kepada sesama manusia, kepada lingkungan, bangsa, dan diri sendiri menjadi fondasi utama dalam membangun peradaban pendidikan yang memuliakan.”
Konsep tersebut dituangkan dalam enam nilai utama: Hubbullah (cinta kepada Allah), Hubbur Rasul (cinta kepada Rasulullah), Hubbunnaas (cinta kepada sesama), Hubbulbi’ah (cinta kepada lingkungan), Hubbul Wathan wal Bilad (cinta kepada bangsa dan negara), serta Hubbunnafsii (cinta kepada diri sendiri).
Fitri menegaskan, nilai-nilai tersebut tidak berhenti pada tataran konsep, tetapi harus diimplementasikan dalam kegiatan belajar yang nyata, menyenangkan, dan berkesadaran. “Guru harus menjadi fasilitator cinta, bukan sekadar pengajar materi,” tambahnya.
Selain menekankan pada aspek afektif, seminar ini juga membahas pendekatan Deep Learning atau pembelajaran mendalam sebagai pendekatan pengajaran yang mampu membangkitkan kesadaran dan pemahaman peserta didik secara utuh.
Pendekatan ini, menurut Fitri, memadukan empat olah — olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga — agar proses belajar tidak hanya kognitif, tetapi juga menyentuh sisi emosional dan spiritual. Deep Learning, lanjutnya, menciptakan suasana belajar yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan, di mana siswa tidak hanya tahu apa yang dipelajari, tetapi juga mengapa dan bagaimana hal itu relevan dengan kehidupan mereka.
Dalam contoh praktik pembelajaran, Fitri menggambarkan bagaimana guru dapat mengintegrasikan nilai cinta dan pembelajaran mendalam melalui proyek berbasis lingkungan. Misalnya, siswa diajak meneliti kondisi sungai, mempelajari ekosistem, hingga membuat proyek pengelolaan sampah di sekolah. Melalui kegiatan semacam ini, peserta didik tidak hanya belajar tentang sains, tetapi juga memupuk rasa syukur dan tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan.
Sementara itu, narasumber kedua, H. Wibowo Prasetyo, menyoroti pentingnya kebijakan pendidikan nasional yang berbasis pada nilai kasih sayang dan kemanusiaan. Ia menilai, dunia pendidikan saat ini tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual, tetapi juga empati, solidaritas, dan karakter kuat.
“Integrasi nilai-nilai cinta dalam pembelajaran madrasah akan memperkuat identitas bangsa. Pendidikan harus melahirkan generasi yang berpikir kritis, berperilaku lembut, dan berjiwa cinta damai,” tegas Wibowo.
Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap inisiatif UIN Walisongo yang telah menjadi pionir dalam mengembangkan model kurikulum berbasis cinta dan deep learning di lingkungan pendidikan Islam. Menurutnya, gagasan tersebut sejalan dengan arah transformasi pendidikan nasional yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai inti kurikulum.
Seminar yang dimoderatori oleh tim akademik FITK UIN Walisongo, yaitu Dr. Hasyim Ashari ini berlangsung interaktif. Para peserta, yang terdiri atas dosen, guru madrasah, dan praktisi pendidikan, tampak antusias mengikuti sesi tanya jawab dan diskusi panel.
Dalam sesi akhir, Fitri Yuliawati menegaskan pentingnya peran guru dalam membangun pengalaman belajar yang berkesadaran. Guru, katanya, harus mampu memfasilitasi peserta didik agar aktif, reflektif, dan mampu menemukan makna dari setiap proses pembelajaran.
“Pembelajaran yang bermakna tidak datang dari ceramah, tetapi dari pengalaman dan refleksi diri. Pendidikan sejati adalah perjalanan cinta,” ungkapnya.
Wakil Dekan 1 FITK UIN Walisongo, Prof. Dr. Mahfud Junaedi, M.Ag yang turut hadir bersama dengan Kabag TU Hj. SitiKhotimah,M.M., dalam sambutannya menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya penguatan kapasitas guru madrasah di era transformasi digital dan spiritual. Ia berharap seminar ini dapat menjadi inspirasi bagi madrasah di seluruh Indonesia untuk menerapkan pendekatan pembelajaran yang lebih humanis dan kontekstual.
“Kami ingin madrasah menjadi ruang yang memuliakan manusia, bukan sekadar tempat belajar akademik. Dengan kurikulum berbasis cinta dan deep learning, kita sedang menanamkan benih peradaban kasih,” ujarnya menutup kegiatan.Seminar ini tidak hanya menjadi forum ilmiah, tetapi juga momentum untuk meneguhkan kembali misi pendidikan Islam sebagai sarana mencetak generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan penuh cinta kasih terhadap sesama dan lingkungan.